Aset Puluhan Miliar Rupiah Terbengkalai: PPI Muaro Anai Menanti Sentuhan
Di bawah langit biru cerah Muaro Anai, Padang, sebuah kompleks bangunan berwarna krem dengan atap seng merah kecoklatan berdiri membisu. Dulu, tempat ini adalah kanvas harapan, di mana mimpi tentang deru mesin kapal dan riuhnya tawar-menawar ikan segar akan terwujud. Namun kini, yang tersisa hanyalah hening, diinterupsi oleh gemerisik daun dan sesekali kicauan burung yang membangun sarang di sela-sela kerusakan. Ini adalah kisah PPI (Pangkalan Pendaratan Ikan) Muaro Anai, aset bernilai puluhan juta rupiah milik Dinas Perikanan Provinsi Sumatera Barat, yang kini terlantar, usang, dan nyaris dilupakan.
Lahan ini, dulunya dibeli dengan tujuan mulia oleh Pemerintah DaerahDaerah, menjadikannya pusat pelelangan ikan yang modern, tempat di mana kapal-kapal besar dari berbagai penjuru bisa bersandar, membongkar hasil tangkapan mereka. Visi itu begitu jelas: menghidupkan denyut ekonomi masyarakat setempat, membuka lapangan kerja, dan menjadikan Muaro Anai sebagai sentra perikanan yang maju. Sebuah janji yang menggaung, menumbuhkan optimisme di hati nelayan dan warga sekitar.
Namun, tahun berganti. Gubernur datang dan pergi, kepala dinas berganti wajah. Harapan yang dulu membumbung tinggi, kini seolah terhempas ke bumi. Bangunan-bangunan yang seharusnya menjadi pusat aktivitas perikanan itu, kini lebih menyerupai monumen kegagalan. Atap seng yang bolong menganga memperlihatkan rangka kayu yang lapuk, dinding-dinding kusam mengelupas, dan jendela-jendela berteralis besi tampak usang, bahkan ada yang sudah hancur. Di beberapa sudut, terlihat jelas kerusakan parah pada bagian atap dan plafon, seolah waktu telah lama berhenti dan tak ada tangan yang peduli.
Area sekitarnya pun tak kalah memprihatinkan. Rumput liar tumbuh subur, menutupi jejak-jejak paving block yang pernah ada. Bekas-bekas pondasi dan beton yang seharusnya menjadi bagian dari infrastruktur pendukung, kini hanya tampak sebagai gundukan tak terurus. Sebuah menara pantau yang menjulang, seharusnya menjadi mata yang mengawasi lalu lintas kapal, kini berdiri kesepian, menjadi saksi bisu atas kemangkrahan ini.
Pertanyaan pun mencuat, mengusik nurani. Apakah ketidakmampuan para pejabat dan gubernur yang telah menjabat menjadi penyebab utama terlantarnya PPI ini? Mengapa sebuah aset strategis yang digadang-gadang akan memberikan peluang ekonomi signifikan bagi masyarakat, justru dibiarkan merana? Apakah tidak ada urgensi dari pihak Dinas Perikanan untuk menyelamatkan bangunan-bangunan ini dari kerusakan yang semakin parah? Atau, apakah tidak ada rencana sama sekali untuk melanjutkan visi besar yang telah dicanangkan sejak awal?
Masyarakat Muaro Anai dan seluruh rakyat Sumatera Barat berhak mendapatkan jawaban. Harapan yang terkubur di bawah reruntuhan bangunan ini bukan hanya tentang infrastruktur fisik, tetapi juga tentang potensi ekonomi dan kesejahteraan yang terabaikan. Sudah saatnya kita menuntut pertanggungjawaban, dan yang lebih penting, menagih komitmen untuk menghidupkan kembali PPI Muaro Anai. Mari kita bersama-sama mempertanyakan: akankah PPI ini selamanya menjadi harapan yang teronggok, ataukah akan ada tangan-tangan baru yang berani merajut kembali mimpi yang telah lama pudar?
Berita ini akan terus kami update seiring dengan perkembangan informasi dari pihak terkait. (And)